Pada tulisan sebelumnya yang berjudul Semar, Sang Punakawan, telah diceritakan tentang Semar dengan keunikan serta keistimewaannya. Selain itu, jika diperhatikan, ternyata di semua cerita wayang versi Jawa selalu ada tokoh Semar. Hal yang membedakan adalah tokoh Punakawan pendamping Semar yang juga memiliki keunikannya masing-masing. Dalam pewayangan versi Surakarta dan Jogjakarta, Semar ditemani "anak-anaknya" yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam wayang golek Sunda, Semar ditemani Cepot, Dawala, dan Gareng. Pada wayang versi Cirebon, Semar memiliki delapan "anak" yaitu, Bitarota, Ceblok, Duwala, Cungkring, Bagong, Bagalbuntung, dan Gareng serta Curis. Sedangkan dalam cerita pewayangan Bali, tokoh Punakawannya adalah Tualen, Merdah, Delem, dan Sangut.
Punakawan versi Surakarta dan Jogjakarta
1. Gareng
Gareng atau Nala Gareng nama lengkapnya merupakan anak tertua Semar. Sebelumnya dia adalah seorang kesatria tampan lagi sakti bernama Bambang Sukodadi yang berasal dari Padepokan Bluktiba. Suatu ketika setelah bertapa dari Bukit Candala, Bambang Sukodadi berniat berkelana untuk menaklukan para raja di dunia wayang. Di perjalanan, Bambang Sukodadi bertemu dengan Bambang Panyukilan yang kemudian diajaknya berduel. Pertarungan berlangsung sengit dan seimbang karena keduanya sama-sama sakti. Mereka terus bertarung sampai fisik mereka cacat tak karuan berbeda dari wujud asli mereka. Akhirnya pertarungan mereka dihentikan oleh Semar yang memberikan nasihat kepada mereka berdua. Mereka berdua akhirnya diangkat menjadi anak oleh Semar. Bambang Sukodadi berubah nama menjadi Nala Gareng sebagai anak pertama dan Bambang Panyukilan berubah nama menjadi Petruk sebagai anak kedua.
Gareng memiliki nama lain, yaitu Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik), Pancalpamor (artinya menolak godaan duniawi), dan Pegatwaja (artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit).
Gareng memiliki penampakan fisik mata juling, tangan bengkok, dan kaki cacat (jinjit sebelah). Di balik kecacatan fisik Gareng ternyata menyimpan filosofi yaitu:
- Mata juling bermakna tidak mau melihat hal-hal yang bisa menimbulkan kejahatan
- Tangan bengkok bermakna tidak mau mengambil hak orang lain
- Kaki cacat bermakna selalu hati-hati dalam melangkah/bertindak
Walaupun Gareng memiliki banyak cacat fisik, tetapi dia memiliki sifat humoris, setia, dan suka menolong. Pada sebuah lakon, Gareng pernah menjadi raja di kerajaan Parang Gumiwang dan bergelar Prabu Pandu Bergola. Dia menjadi raja yang sakti tanpa tanding dan hendak menaklukan para raja dunia wayang. Pada akhirnya atas petunjuk Semar, Prabu Pandu Bergola dapat dikalahkan oleh Petruk dan Prabu Pandu Bergola kembali menjadi Gareng.
2. Petruk
Petruk merupakan anak kedua Semar. Sebelumnya dia adalah seorang kesatria anak pendeta bangsa raksasa Begawan Salantara. Nama aslinya adalah Bambang Panyukilan. Di daerah sekitarnya, Bambang Panyukilan termasuk orang yang sakti. Pada suatu ketika, dia ingin menjajal kesaktiannya dengan berkelana. Di perjalanan dia bertemu dengan Bambang Sukodadi yang kemudian mengajaknya berduel. Karena kesaktian mereka seimbang, mereka terus bertarung hingga wujud fisiknya menjadi cacat. Pada akhirnya, pertarungan tersebut dilerai oleh Semar dan menasihati mereka berdua. Mereka berdua akhirnya diangkat menjadi anak oleh Semar. Bambang Sukodadi berubah nama menjadi Nala Gareng sebagai anak pertama dan Bambang Panyukilan berubah nama menjadi Petruk sebagai anak kedua.
Petruk memiliki nama lain Dawala (bahasa Jawa dawa artinya panjang, la artinya ala atau jelek) dan Petruk Kantong Bolong. Dari nama Dawala telah menggambarkan ciri fisik Petruk yaitu sudah panjang (hidung, tangan, dan kaki), jelek pula wujudnya. Akan tetapi hal ini bisa diartikan bahwa walaupun jelek, Petruk selalu berpikir panjang yang dalam artian tidak gegabah dalam bertindak. Walaupun fisiknya jelek, Petruk digambarkan memiliki wajah yang selalu tersenyum. Sedangkan Kantong Bolong menggambarkan bahwa Petruk adalah orang yang sabar, lapang dada, dan tidak sakit hati seperti halnya benda yang dimasukkan ke kantung yang bolong akan segera hilang karena terjatuh. Ada juga yang mengartikan Petruk sudah tidak memerlukan/memikirkan harta duniawi karena kantongnya bolong sehingga tidak bisa menyimpan harta benda lagi (hidup sederhanya/secukupnya).
3. Bagong
Bagong merupakan anak ketiga Semar. Asal usul Bagong adalah dia berasal dari bayangan Semar. Saat pertama kali Togog dan Semar diturunkan ke dunia, mereka meminta kepada Sang Hyang Tunggal untuk diberi teman. Sang Hyang Tunggal mengajukan pertanyaan berbunyi, "Siapa kawan sejati manusia?". Togog menjawab “hasrat”, sedangkan Semar menjawab “bayangan”. Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, seorang lelaki yang postur tubuhnya mirip Semar, ia diberi nama Bagong. Walaupun telah lebih dulu bersama Semar, Bagong justru sering dijadikan anak bungsu karena sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan.
Punakawan versi Surakarta dan Jogjakarta
1. Gareng
Gareng atau Nala Gareng nama lengkapnya merupakan anak tertua Semar. Sebelumnya dia adalah seorang kesatria tampan lagi sakti bernama Bambang Sukodadi yang berasal dari Padepokan Bluktiba. Suatu ketika setelah bertapa dari Bukit Candala, Bambang Sukodadi berniat berkelana untuk menaklukan para raja di dunia wayang. Di perjalanan, Bambang Sukodadi bertemu dengan Bambang Panyukilan yang kemudian diajaknya berduel. Pertarungan berlangsung sengit dan seimbang karena keduanya sama-sama sakti. Mereka terus bertarung sampai fisik mereka cacat tak karuan berbeda dari wujud asli mereka. Akhirnya pertarungan mereka dihentikan oleh Semar yang memberikan nasihat kepada mereka berdua. Mereka berdua akhirnya diangkat menjadi anak oleh Semar. Bambang Sukodadi berubah nama menjadi Nala Gareng sebagai anak pertama dan Bambang Panyukilan berubah nama menjadi Petruk sebagai anak kedua.
wayang Gareng versi Surakarta
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
Gareng memiliki nama lain, yaitu Nala Gareng (artinya hati yang kering, kering dari kemakmuran, sehingga ia senantiasa berbuat baik), Pancalpamor (artinya menolak godaan duniawi), dan Pegatwaja (artinya gigi sebagai perlambang bahwa Gareng tidak suka makan makanan yang enak-enak yang memboroskan dan mengundang penyakit).
wayang Gareng versi Jogjakarta
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
Gareng memiliki penampakan fisik mata juling, tangan bengkok, dan kaki cacat (jinjit sebelah). Di balik kecacatan fisik Gareng ternyata menyimpan filosofi yaitu:
- Mata juling bermakna tidak mau melihat hal-hal yang bisa menimbulkan kejahatan
- Tangan bengkok bermakna tidak mau mengambil hak orang lain
- Kaki cacat bermakna selalu hati-hati dalam melangkah/bertindak
Walaupun Gareng memiliki banyak cacat fisik, tetapi dia memiliki sifat humoris, setia, dan suka menolong. Pada sebuah lakon, Gareng pernah menjadi raja di kerajaan Parang Gumiwang dan bergelar Prabu Pandu Bergola. Dia menjadi raja yang sakti tanpa tanding dan hendak menaklukan para raja dunia wayang. Pada akhirnya atas petunjuk Semar, Prabu Pandu Bergola dapat dikalahkan oleh Petruk dan Prabu Pandu Bergola kembali menjadi Gareng.
wayang Gareng raja Pandu Bergola versi Surakarta
2. Petruk
Petruk merupakan anak kedua Semar. Sebelumnya dia adalah seorang kesatria anak pendeta bangsa raksasa Begawan Salantara. Nama aslinya adalah Bambang Panyukilan. Di daerah sekitarnya, Bambang Panyukilan termasuk orang yang sakti. Pada suatu ketika, dia ingin menjajal kesaktiannya dengan berkelana. Di perjalanan dia bertemu dengan Bambang Sukodadi yang kemudian mengajaknya berduel. Karena kesaktian mereka seimbang, mereka terus bertarung hingga wujud fisiknya menjadi cacat. Pada akhirnya, pertarungan tersebut dilerai oleh Semar dan menasihati mereka berdua. Mereka berdua akhirnya diangkat menjadi anak oleh Semar. Bambang Sukodadi berubah nama menjadi Nala Gareng sebagai anak pertama dan Bambang Panyukilan berubah nama menjadi Petruk sebagai anak kedua.
Petruk memiliki nama lain Dawala (bahasa Jawa dawa artinya panjang, la artinya ala atau jelek) dan Petruk Kantong Bolong. Dari nama Dawala telah menggambarkan ciri fisik Petruk yaitu sudah panjang (hidung, tangan, dan kaki), jelek pula wujudnya. Akan tetapi hal ini bisa diartikan bahwa walaupun jelek, Petruk selalu berpikir panjang yang dalam artian tidak gegabah dalam bertindak. Walaupun fisiknya jelek, Petruk digambarkan memiliki wajah yang selalu tersenyum. Sedangkan Kantong Bolong menggambarkan bahwa Petruk adalah orang yang sabar, lapang dada, dan tidak sakit hati seperti halnya benda yang dimasukkan ke kantung yang bolong akan segera hilang karena terjatuh. Ada juga yang mengartikan Petruk sudah tidak memerlukan/memikirkan harta duniawi karena kantongnya bolong sehingga tidak bisa menyimpan harta benda lagi (hidup sederhanya/secukupnya).
wayang Petruk versi Jogjakarta
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
Petruk adalah Punakawan yang pandai bicara dan pandai melucu. Selain itu, diantara Gareng dan Bagong, Petruk lebih pintar dan pandai menembang/menyanyi. Sebagai Punakawan, Petruk menerapkan 5M, yaitu momong (bisa mengasuh), momot (dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah), momor (tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung), mursid (pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya), dan murakabi (bermanfaat bagi sesama). Dalam suatu lakon, Petruk pernah menjadi raja di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh. Hal ini terjadi setelah dia meletakkan pusaka Jamus Kalimasada di kepalanya sebagai upaya mengamankannya saat kerajaan Amarta dan kerajaan Imantaka memperebutkannya. Prabu Welgeduwelbeh amat sakti dan dapat menaklukan seluruh kerajaan di dunia wayang. Pada akhirnya Prabu Welgeduwelbeh dapat dikalahkan oleh Gareng dan Bagong dan kembali menjadi Petruk.
wayang Petruk raja Welgeduwelbeh versi Jogjakarta
3. Bagong
Bagong merupakan anak ketiga Semar. Asal usul Bagong adalah dia berasal dari bayangan Semar. Saat pertama kali Togog dan Semar diturunkan ke dunia, mereka meminta kepada Sang Hyang Tunggal untuk diberi teman. Sang Hyang Tunggal mengajukan pertanyaan berbunyi, "Siapa kawan sejati manusia?". Togog menjawab “hasrat”, sedangkan Semar menjawab “bayangan”. Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, seorang lelaki yang postur tubuhnya mirip Semar, ia diberi nama Bagong. Walaupun telah lebih dulu bersama Semar, Bagong justru sering dijadikan anak bungsu karena sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan.
wayang Bagong versi Surakarta
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
Bagong memiliki ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan,
yaitu bertubuh pendek, gemuk, dengan mata bundar besar, bibirnya lebar,
dan berhidung kecil. Bagong juga dikenal karena gaya bicaranya yang semaunya sendiri, bicara ceplas ceplos apa adanya dan kurang memiliki tata krama dalam berbicara. Digambarkan bahwa penampilan Bagong seperti orang dungu. Akan tetapi ia merupakan sosok yang lucu, tangguh, tabah, selalu beruntung, dan disayang tuan-tuannya.
wayang Bagong versi Jogjakarta
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
(via tokohwayangpurwa.blogspot.com)
Yang menarik adalah, pada zaman penjajahan Belanda, para dalang sering memanfaatkan karakter Bagong yang suka bicara ceplas ceplos dan semaunya sendiri untuk mengkritik pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda melarang bahkan menghilangkan tokoh Bagong saat pementasan wayang.
(bersambung)