Semar merupakan tokoh pewayangan asli Indonesia karena dalam kisah asli Ramayana dan Mahabharata tidak ada tokoh Semar. Semar dikenal sebagai salah satu punakawan yang berperan sebagai penasihat, pengasuh, teman, dan penghibur. Semar memiliki petuah-petuah bijak dan dapat mengayomi orang-orang disekitarnya. Dalam kisah pewayangan, Semar merupakan pengasuh para kesatria (kebaikan), sedangkan Togog yang merupakan kakak Semar, adalah pengasuh kaum raksasa (kejahatan). Dikisahkan bahwa Semar memiliki banyak keistimewaan. Berikut ini akan dibahas beberapa keistimewaan Semar.
1. Keunikan Fisik Semar
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, yang bisa dibilang sebagai simbolisasi dualisme di dunia. Tubuh Semar bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal manusia dan makhluk lainnya. Semar digambarkan selalu tersenyum tetapi matanya selalu sembab dan mengeluarkan air mata. Penggambaran ini adalah simbol suka dan duka yang selalu menyertai manusia. Wajah Semar terlihat tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ini sebagai simbol tua dan muda. Semar berkelamin laki-laki tetapi memiliki payudara seperti perempuan. Ini merupakan simbol maskulin dan feminim. Semar digambarkan sebagai penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ia juga digambarkan berdiri sekaligus jongkok. Dapat disimpulkan bahwa Semar adalah simbol manunggalnya "atasan" dan "bawahan".
2. Semar Sebagai Dewa
Terdapat beberapa versi tentang asal-usul Semar, namun semuanya menyebut bahwa Semar merupakan penjelmaan dewa. Dalam naskah Serat Kanda, dikisahkan bahwa ada seorang penguasa kahyangan bernama Sang Hyang Nurrasa. Ia memiliki dua orang putra, yaitu Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Wenang. Karena Sang Hyang Tunggal berwajah jelek, tahta kahyangan diberikan kepada Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Wenang kemudian mewariskan tahtanya kepada anaknya, yaitu Batara Guru. Sang Hyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh keturunan Batara Guru dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga, dikisahkan Sang Hyang Tunggal adalah anak Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti yang merupakan putri dari raja jin kepiting bernama Sang Hyang Yuyut. Dari perkawinan itu, lahir sebuah mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, yang satunya diberi nama Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga Sang Hyang Tunggal kerang berkenan. Tahta kahyangan kemudian diwariskan kepada Manikmaya yang kemudian bergelar Batara Guru, sedangkan Ismaya menjadi penguasa alam sunyaruri atau alam tempat tinggal makhluk halus. Ismaya menikah dengan Dewi Senggani kemudian lahirlah Batara Wungkuhan, Batara Surya, Batara Candra, Batara Tamburu, Batara Siwa, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahyanti, dan Batari Darmanastiti. Si sulung Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta yang kemudian dikenal sebagai Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan terus berlanjut sampai anak cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar menjadi sosok yang sangat ditakuti oleh para dewa sekalipun.
Dalam naskah Paramayoga, dikisahkan Sang Hyang Tunggal adalah anak Sang Hyang Wenang. Sang Hyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti yang merupakan putri dari raja jin kepiting bernama Sang Hyang Yuyut. Dari perkawinan itu, lahir sebuah mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, yang satunya diberi nama Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga Sang Hyang Tunggal kerang berkenan. Tahta kahyangan kemudian diwariskan kepada Manikmaya yang kemudian bergelar Batara Guru, sedangkan Ismaya menjadi penguasa alam sunyaruri atau alam tempat tinggal makhluk halus. Ismaya menikah dengan Dewi Senggani kemudian lahirlah Batara Wungkuhan, Batara Surya, Batara Candra, Batara Tamburu, Batara Siwa, Batara Kuwera, Batara Yamadipati, Batara Kamajaya, Batara Mahyanti, dan Batari Darmanastiti. Si sulung Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta yang kemudian dikenal sebagai Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan terus berlanjut sampai anak cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar menjadi sosok yang sangat ditakuti oleh para dewa sekalipun.
Dalam naskah Purwakanda, dikisahkan Sang Hyang Tunggal memiliki empat orang anak, yaitu Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari tersiar kabar bahwa tahta kahyangan akan diwariskan kepada Batara Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Batara Samba diculik, disiksa, dan hendak dibunuh. Akan tetapi, perbuatan tersebut diketahui oleh Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal kemudian mengutuk ketiga putranya menjadi buruk rupa. Batara Puguh berganti nama menjadi Togog dan Batara Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia menjadi pengasuh keturunan Batara Samba yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu, Batara Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Batara Manan kemudian berganti nama menjadi Batara Narada dan menjadi penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita, dikisahkan Sang Hyang Tunggal menikah denga Dewi Rekatawati, putri Sang Hyang Rekatatama. Dari perkawinan itu, lahir sebutir telur yang bercahaya. Sang Hyang Tunggal merasa kesal kemudian membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang telur, putih telur, dan kuning telur. Masing-masing berubah menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang telur diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, dan yang berasal dari kuning telur diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari, Antaga dan Ismaya berselisih karena ingin menjadi pewaris tahta kahyangan. Keduanya mengadakan perlombaan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan tetapi malah mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya mencoba dengan memakan gunung sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Gunung tersebut berhasil ia telan tetapi tidak bisa ia muntahkan sehingga tubuhnya menjadi bulat. Mengetahui hal ini, Sang Hyang Tunggal marah dan menghukum mereka berdua menjadi pengasuh keturunan Manikmaya yang justru menjadi raja kahyangan dan bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya kemudian diturunkan ke bumi dan berganti nama menjadi Togog dan Semar.
wayang Batara Ismaya versi Jogjakarta
3. Mbegegeg Ugeg-Ugeg
Setiap mengawali dialog dalam wayang kulit, Semar akan mengucapkan kata-kata yang menjadi ciri khasnya. Kata-kata tersebut berbunyi mbegegeg ugeg-ugeg, hemel-hemel, sak ndulit, langgeng. Arti dari kata-kata tersebut adalah diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, dan langgeng atau abadi. Ucapan tersebut terdengar lucu bahkan mungkin aneh, tetapi ucapan tersebut memiliki makna yang mendalam. Kata-kata tersebut kurang lebih menyiratkan pesan berikut: daripada diam (mbegegeg), lebih baik berusaha (ugeg-ugeg), untuk mencari makan (hemel-hemel), walaupun sedikit (sak ndulit), tapi akan terasa abadi (langgeng). Ini merupakan pesan moral supaya manusia selalu bekerja keras mencari nafkah, walaupun hasilnya sedikit namun kepuasannya akan terasa abadi.
4. Mustika Manik Astagina
Selain dikenal karena kebijaksanaanya, Semar juga dikenal karena kesaktiannya. Hal ini karena Semar memiliki mustika Manik Astagina. Mustika Manik Astagina adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wasesa yang disimpan di kuncung Semar. Pusaka tersebut memiliki kekuatan sehingga Semar terhindar dari rasa lapar, kantuk, asmara, sedih, lelah, sakit, panas, dan dingin.
5. Kentut Semar
Dalam kisah pewayangan, Semar dikenal memiliki kekuatan unutk mengalahkan lawan-lawannya. Semar menggunakan kentut sebagai senjata andalannya. Walalupun bau, kentut tersebut jika tercium oleh lawannya akan membuat mereka kembali ke jalan yang benar. Kentutnya hanya dikeluarkan saat keadaan mendesak. Kentutnya bukan untuk membunuh, tetapi menyadarkan lawannya. Secara simbolis, kentut Semar dapat diartikan sebagai suara rakyat kecil untuk menyadarkan pemimpin mereka yang zalim kepada rakyatnya.
sumber: Hermawan, Deny. 2013. Semar dan Kentut Kesayangannya. Jogjakarta: Diva Press
No comments:
Post a Comment